the man i met along the road


Satoru tidak pernah menyesal dengan apa pun dalam hidupnya, mulai dari hal yang terbodoh sampai yang paling bijak yang pernah dia lakukan. Seolah-olah kata menyesal menghilang begitu saja di dalam kamus kehidupannya. He's really living his best life

Memukuli ayahnya yang tidak sependapat dengannya hingga hidung dan tangan kanannya patah di umur enam belas, kabur dari istana—yang lebih terasa seperti neraka bagi Satoru—keluarga Gojo di umur 17, lalu hidup secara nomaden bersama pacar laki-lakinya yang katanya jahat.

Entah apa yang orang-orang tahu di luar sana tentang Toji hingga dengan mudahnya mereka bisa mengatainya jahat. Padahal selama tiga tahun Satoru berpacaran dengannya tidak pernah tuh Toji berperilaku aneh-aneh di depan mata kepala Satoru.

Mereka bilang Toji itu buruk. Bahkan keluarganya sendiri sudah tidak mau mengakuinya dan membuang Toji begitu saja seperti sampah yang tidak ada harganya.

Tapi Satoru tidak peduli. Memang di dunia ini banyak keluarga brengsek yang suka membuang anggota keluarganya sendiri karena tidak memenuhi apa yang mereka ekspektasikan kepada Toji.

Mereka bilang Toji itu laki-laki tuna susila. Setelah dibuang keluarganya dan hidup menggelandang dia melemparkan dirinya sendiri pada wanita-wanita haus belaian di luar sana dan memanfaatkan uang mereka untuk berfoya-foya.

Namun Satoru tidak peduli. Hal itu juga terjadi jauh sebelum mereka berdua bertemu. Semua orang pasti punya masa lalu yang kelam, bukan?

Mereka bilang Toji itu pembunuh. Dia menghidupi dirinya dengan cara mengambil nyawa-nyawa orang di luar sana dengan keji.

Tapi Satoru sedikit pun tidak takut. Lagipula, hal terburuk apa sih yang bisa seorang pembunuh lakukan pada seorang laki-laki yang sudah mati jiwanya? Satoru is already dead inside, stabbed by a knife won't hurt him.

Mungkin bagi ayahnya, keluarga Toji dan orang-orang di luar sana, Toji tidak lebih dari sekadar kriminal sampah yang hidup dengan menyedihkan di jalanan. Namun bagi Satoru sosok Toji untuknya lebih dari itu.

Baginya Toji itu rumah. Yang dilengkapi dengan detak jantung, pelukan hangat, dan ciuman yang memabukan. Yang tidak pernah dia rasakan selama hidup bersama keluarganya.

Belasan tahun hidup di bawah atap megah istana keluarga Gojo tidak pernah rasanya Satoru merasakan perasaan yang begitu nyaman seperti pelukan erat Toji di atas sofa usang di sebuah motel murah dan kumuh di sudut kota.

Hey pumpkin, is there anything that bothering you? Bau kamarnya, ya? Mau cari motel lain yang lebih nyaman?”

Suara berat yang sangat-amat dikenali oleh Satoru membawa jiwanya kembali pada kesadarannya. Kemudian laki-laki itu menggeleng dan tersenyum kecil sebelum memberi isyarat pada pacar laki-lakinya—yang baru saja selesai mandi dengan handuk yang masih menggantung di pinggangnya—untuk mendekat dan berbaring di sampingnya.

I'm fine, come here and give me my kisses. Hari ini aku belum dapet satu pun ciuman dari kamu.” Satoru berujar manja dan berhasil membuat Toji tertawa pelan dan berjalan mendekatinya.

Toji menarik tangan Satoru dengan lembut seakan-akan Satoru bisa hancur kapan saja di dalam genggamannya jika tidak diperlakukan dengan baik.

Lalu Toji mengelus pelan pipi laki-laki yang kini duduk di hadapannya. Mencoba memberi afeksi lewat sentuhannya yang kadang tidak bisa Toji keluarkan melalui kata-katanya.

“Kamu indah—” Toji mengecup pelan pelipis Satoru yang menatapnya dengan dua bola mata paling indah sejagad raya. “—nggak tau hal baik apa yang pernah aku buat di masa lalu sampai di kehidupanku yang sekarang aku bisa punya kamu, Satoru.”

Toji menghujani wajah Satoru dengan ciuman-ciuman kecil yang membuat si korban tertawa karenanya. Toji is really in love with this guy.

“Mungkin kamu bosen dengan kata-kata ini, but I really lucky to have you, Satoru.” Toji berbisik tepat di depan bibir Satoru yang membengkak merah karena cumbuan Toji yang sebelumnya.

“Jangan pergi dari hidupku, ya? Aku nggak bisa bayangin gimana hidupku kalau kamu pergi.”

Satoru tersenyum kecil sambil mengelus helaian rambut sehitam jelaga milik Toji. Kepalanya mengangguk pelan, menyetujui permintaan kecil dari Toji.

“Aku nggak akan pergi lagi dari rumahku, Toji.”