nomor satu – crashing down
Bagas membuang puntung rokoknya sembarangan sambil menginjak sisa bara apinya yang menyala. Tangan sebelah kirinya menenteng kantong plastik berlogo minimarket terkenal dengan isi beberapa makanan dan minuman kemasan kesukaan Anin.
Setelah membaca beberapa bubble percakapan terakhir yang dikirimkan oleh Anin, Bagas bergegas pamit untuk pulang kepada teman-teman satu kelompoknya. Untung saja sisa pekerjaan kelompoknya pada hari itu tinggal sedikit lagi sehingga mereka mengizinkan Bagas untuk pulang lebih awal.
“Pak Dani, Agas masuk ya, mau ke kamarnya Anin.”
Setelah memarkirkan sepeda motornya di pojokan halaman rumah kos Anin, Bagas berbicara sedikit keras pada Pak Dani, satpam penjaga rumah kos Anin yang sedang sibuk menonton acara berita malam di pos jaganya. Pak Dani tersenyum ramah sambil mengangkat jempolnya.
Bagas bergegas naik menuju lantai dua rumah kos itu, berjalan menuju kamar Anin yang berada di pojok lantai dua. Lidahnya berdecak pelan ketika melihat kunci kamar kos Anin masih tergantung di sisi luar pintu. Kebiasaan, pikirnya dalam hati.
“Nin, Agas dateng, nih. Anin kenapa lagi sama kak Dimas?”
Tanpa mengetuk pintu, Bagas masuk begitu saja ke kamar kos itu. Gerakannya berhenti tepat dibalik pintu ketika melihat Anin yang terlihat menyedihkan di atas tempat tidurnya.
Tubuhnya yang dibalut selimut biru tua bergetar menahan tangis, wajahnya pun terlihat memerah dan bengkak. Sepertinya sudah lebih dari tiga puluh menit Anin menangis seperti itu.
“H-hu... Agas kok dateng? Tadi ka-katanya lagi kerjain hic... tugas di Tama...”
Bagas menyimpan asal kantong plastik di tangannya lalu berjalan mendekati Anin yang mati-matian mengontrol suaranya untuk tidak terlalu terdengar menyedihkan ketika bicara.
“Udah beres, kok. Makan dulu mau nggak? Agas beli jajanan banyak buat Anin, udah dulu ya nangisnya?”
Tangisan Anin mengeras setelah mendengar kalimat dari Bagas. Bagas yang gelagapan langsung membawa Anin ke dalam pelukannya berharap hal itu dapat membuat tangisannya mereda.
“Sakit hati... kak Dimas bilang udah nggak mau pacaran sama Anin. Capek katanya Anin begini terus...”
Bagas hanya diam mendengar runtutan kalimat yang Anin ucapkan disela-sela tangisannya. Kalimat itu sudah sering sekali Bagas dengar tiap kali Anin dan pacarnya itu bertengkar.
Sudah sejak mereka masih sama-sama bersekolah di tempat yang sama Bagas mendengar kalimat itu. Menyaksikan Anin dan pacarnya bertengkar, menyaksikan bagaimana Anin menangis karena sakit hati dengan perkataan atau perilaku pacarnya. Lalu beberapa hari atau minggu kemudian mereka berdua kembali mesra seperti pertengkaran sebelumnya tidak pernah terjadi.
“Nanti juga kalian balikan lagi, udahan nangisnya, ya.”
Ada sedikit rasa tidak rela ketika Bagas mengucapkan kalimat itu. Namun memang begitu faktanya. Dimas selalu kembali pada Anin dan Anin dengan senang hati menyambutnya ke dalam pelukan.
Dan Bagas hanya ada disana untuk menjadi teman Anin dikala sedih dan terpuruk. Seperti plester, dibuang ketika dirasa lukanya sudah mengering.
“Nggak akan balik lagi, kak Dimas sendiri yang bilang kalau dia udah nggak bisa sama Anin.”
Anin mencengkram sisi jaket Bagas dengan kuat. Napasnya memburu cepat bergantian dengan isak tangis yang juga ingin keluar dari mulutnya.
Kalimat itu juga tidak terasa asing karena Bagas selalu mendengarnya tiap kali Anin datang dan menangis padanya. Tetapi tiap kali kalimat itu diucapkan oleh Anin, hatinya selalu saja berdetak cepat, merasa sedikit senang. Kalimat yang Anin katakan seperti menjawab harapan-harapan kecil Bagas untuk menaikan tingkat hubungannya menjadi lebih dari sekadar teman yang sudah bersama sejak kecil. Kalimat itu terasa seperti memberikan janji bahwa setelah semua ini Anin akhirnya bisa menjadi miliknya.
“Kan Agas juga udah bilang nggak usah diterusin kalau gini terus, Aninnya nggak pernah mau dengerin. Mending Anin pacaran sama Agas aja, Agas nggak akan buat Anin nangis terus kaya gini.”
Tangisan Anin berhenti. Anin mendorong pelan tubuh Bagas dan menatapnya dengan kedua alis yang bertaut kesal.
“Lo juga nggak pernah dengerin kayanya pas gue bilang kita nggak akan pernah bisa pacaran, Agas. Gue nggak punya perasaan apa-apa sama lo.”
Bagas meringis pelan, sedikit sakit hati dengan kalimat lugas yang Anin katakan. Anin memang selalu seperti itu, menarik garis pembatas tebal-tebal di antara mereka ketika sudah dirasa Bagas mulai membahas tentang perasaan suka padanya.
“Iya, tau kok. Udah nggak usah dibahas dulu deh, sekarang makan aja yuk. Lo juga pasti belum makan, kan? Cuci muka dulu, habis itu kita keluar cari makan.”
Wajah Anin yang tadinya mengerut kesal kini agak melembut setelah Bagas mendorongnya pelan ke arah kamar mandi kecil yang berada di dalam kamar kosnya. Dengan telaten Bagas mendudukan Anin di atas kloset dan membasuh pelan wajahnya yang bengkak sehabis menangis.
“Tadi gue beli masker juga kok, nanti keluar pake masker aja biar muka bengkaknya nggak keliatan.”
Bagas berujar pelan sambil mengusap sisa-sisa air yang akan jatuh membasahi kaos yang tengah dipakai oleh Anin. Terdiam Anin menatap Bagas di hadapannya. Tangannya terulur untuk mengusap wajah Bagas pelan-pelan.
“Agas jangan suka sama Anin, Anin punya kak Dimas. Dari dulu juga begitu kan. Agas cari orang lain aja buat Agas sukain.” Anin berucap pelan. Tangannya digenggam oleh Bagas erat, seakan takut untuk dilepas tiba-tiba. “Kalau sama Anin nanti Agas malah sakit hati terus, kasihan.”
Bagas mengusapkan tangan yang dia genggam erat itu sebelum menciumnya pelan. Kemudian mengangguk dan bergumam, “Iya, janji kali ini Agas mau udahan suka sama Aninnya.”
Bagas tidak sepenuhnya mengamini kalimat yang dia katakan. Mulutnya hanya asal berbicara dan membuat janji agar pembahasan yang membuat hatinya tercubit sakit ini cepat selsai. Agar Anin tidak merasa terbebani dengan perasaan sukanya.